Selasa, 05 Juli 2011

1.Ayah

“Assalamu’alaikum, ini ibu Cahya ya. Ini Bulan bu”. Salamku untuk Ibu di Medan sana. Sebenarnya dia bukanlah ibuku. Namun dalam silsilah keluarga ayahku, panggilan ibu diperuntukan bagi adik wanita Ayah.
“Wa’alaikumsalam, iya. Ini siapa tadi?” Jawab ibu Cahya.
“ Ini Bulan Bu anak pak Syarif” jawabku sedikit bingung. “Oh Bulan. Ada apa Lan?”          “Kemarin kakak sulungku menelfon ibu, katanya Ayah sedang sakit ya Bu, gawat tidak Bu?” Sedikit terbawa suasana sedih.
“Ah, kalian baru tanya sekarang. Selama ini kemana saja. Sudah barapa tahun ayah kalian di Medan. Sudah hampir empat tahun. Kalian mana mau tahu ayah kalian sakit tu tidak. Untuk menelfon saja susah apa lagi mau meluhat dia di sini. Sudah beberapa kali ini Ayah kalian mengigau memanggil nama kalian. Kadang-kadang susah untuk disuruh makan apalagi mandi” jawab ibu Cahya yang begitu membuatku tersayat-sayat.
Seakan-seakan aku gagal menjadi seorana anak. Tidak bisa membalas budi orangtua,meski aku tahu budi mereka tak terbayar oleh apa pun. Kata-kat ibu Cahya begitu mengiris hatiku. Tak mampu rasanya aku menahan tetesan air mata yang satu persatu jatuh dan akhirnya menderas bagaikan aliran sungai.
“Maaf Bu, sebelumnya aku pernah menelfon Ayah. Ya memang sudah beberapa bulan yang lalu. Ketika aku menelfonnya, ia menangis terisak-isak dan aku tak sanggup mendengar rintihan tangisnya. Seakan aku menjadi beban pikirannya saja saat itu. Aku takut Ayah memaksa untuk kembali ke sini, meski aku tahu disini anaknya banyak namun tidak sedikit pula anaknya yang menolak kehadirannya. Ibu tahu aku masih sekolah, hidupku masih ditanggung oleh mamak. Dari mana aku bisa mendapatkan uang untuk dikirim pada Ayah” jelas ku semakin terisak-isak.
 “Iya ibu tahu, Bulan memang masih sekolah, tapi kaliankan bersaudara. Apa salahnya kakakmu bisa memberikan sedikit saja uangnya untuk pengobatan Ayah kalian di sini”.
Telfonku terputus karena mamakku tiba-tiba memutuskan pembicaraanku dengan ibu Cahya, dan mamak melanjutkan pembicaraan. Aku tak tahu jelas apa yang mereka bicarakan. Yang pasti obrolan mereka itu sudah tak enak lagi.***
Semalam sudah berlalu. Aku selalu terbawa oleh pikiran-pikiran burukku tentang Ayah. Selalu saja terbayang jika Ayah meninggal namun aku belum pernah sedikit pun membahagiakannya. Menyedihkan sekali hidupku ini. Untuk apa orang tuaku membesarkanku hingga saat ini. Sebelum tidur bayangan terburukku hadir menyelimuti diriku. Hingga ku rasakan bantalku basah oleh air mata.
“ Ya ALLAH... jagalah Ayahku, lindungi dia. Berikan ia kesembuhan dan umur panjang. Amin “.
            Doaku sebelum tidur untuk Ayahku tercinta di sana. Semoga Sang Pencipta selalu mengabulkannya.
***

Rutinitas kuliah yang setiap hari harus dilakoni. Agak melelahkan namun itulah salah satu cintaku pada kedua orangtuaku. Sepulang kuliah aku menyempatkan untuk mampir ke rumah kakak  sulungku Senja namanya.
“ kemarin kakakmu Mentari datang ke sini mengabarkan kalau Ayah sedang sakit di Medan dan  Ayah butuh uang untuk berobat. Kakak bilang kalau kakak kemarin sudah banyak membantu Ibu, jadi biar kak Mentari aja yang kirim uang ke Ayah” cerita kakakku.
“Iya, aku juga ditelfon oleh kak Mentari, tapi aku bilang kalau aku belum punya uang karena beeasiswaku belum keluar”Jelasku pula.
Aku sedih sebenarnya namun di lain sisi aku tidak boleh melakukan hal yang tidak diizinkan oleh Ibu dan di sisi lai aku juga tidak sedang mempunyai uang cukup untuk membantu berobat Ayah.
Setiap malam bayangan terburukku tentang Ayah selalu menghantui dan mengikuti ke mana saj aku pergi. Mungkin semua itu adalah rasa kesalahanku hingga akhirnya menjadi momok untuk diriku sendiri. Waktu terasa begitu singkat dari biasanya namun hitungannya tetap saja 24 jam dalam satu hari satu malam. “Apa-apaan kamu ini Bulan. Setiap hari,jam,menit bahkan detik engkau selalu memikirkan hal buruk akan terjadi pada Ayahmu. Bukankah itu sama saja dengan kamu menignginkanya. Doakanlah selalu Ayahmu Lan dan yakinlah ALLAH akan menjaganya dengan baik” gerutu hatiku yang mungkin selama ini kesal  dengan semua pikiran burukku tentang Ayah.
***

Seperti biasa rutinitasku selain kuliah aku juga aktif dalam organisasi di kampusku. Dan pada hari ini ada rapat untuk persiapan acara besar yang diadakan Himpunan Mahsiswa Jurusan. Cukup membosankan utnuk rapat kali ini,tidak bersemangat dan tidak ada yang penting untuk aku tanggapi.Tiba-tiba handphoneku bergetar. Ku lihat ternyata ada sebuah pesan yang aku dapat dari ibu Cahya.
“Hari ini Ayah kalian masuk rumah sakit dan Ayah kalian selalu menyebut-nyebut nama Bulan dan Mentari, ibu mohon kemarilah keadaanya sudah semakin gawat dan tak ada waktu lama untuk menunda. Hari ini juga kalian semua harus berangkat ke Medan. Terserah mau mengajak ibu kalian atau tidak tapi sebaiknya ibu kalian diajak karena salah satu nama yang disebut-sebut Ayah ada nama ibu kalian. Jangan sia-siakan waktu yang berlalu.”
Begitulah isi pesan yang ku terima dari Medan yang sampai dalam hitungan seper sekian detik  ke handphoneku. Aku bergegas pulang tanpa izin ketua terlebih dahulu. Air  mataku tak terbendung lagi. Berceceran di sepanjang lantai ruang kampusku. Lari sekuat tenaga, bergegas mencari ojek untuk mengabarkan kakak-kakakku yang lainnya. Namun aku yakin mereka pasti mendapatkan pesan yang sama denganku.
Sampailah aku di rumah kakak sulungku. Aku menghubungi kakakku Mentari dan ia sedang bersiap-siap untuk menuju rumah kakak tertua kami.
 “Oh iya, bang Bintang belum aku kabari, dia pasti tak tahu kabar ini karena pekan lalu handphonenya hilang entah di mana”. Ucapku pada kakakku.
“Kalau begitu aku pulang dulu untuk mengabarkan berita ini pada Ibu dan bang Bintang, aku pergi dulu kak. Kabari aku jika akan berangkat” pamitku pada kak Senja.
***

Hanya butuh waktu lima belas menit untuk menempuh perjalanan pulang walau biasanya membutuhkan waktu tiga puluh menit. Jarak yang jauh terasa begitu dekat. Sampai juga di rumah.
 “Bu,Ibu “ aku memeluk erat ibuku dan terisak-isak.
 “Ada apa Lan, apa yang terjadi dengan dirimu. Kenapa kamu menangis seperti ini?” tanya ibu dengan wajah khawatirnya.
Suaraku terputus-putus menjawabnya”A,A, Ayah Bu,”
“Ayahmu kenapa?”
“ Ayah sekarat di rumah sakit Bu, dan kata ibu Cahya waktunya nggak lama lagi.” Aku menangis menjadi-jadi “Ayo Bu kita berangkat ke Medan sekarang, bang Bintang juga harus pergi. Waktunya nggak lama lagi Bu”
“ Baiklah nak, jika memang kamu maunya begitu kita pergi ke Medan hari ini juga. Kalau misalkan naik bus memakan waktu lama lebih baik kita naik pesawat saja” mengusap ari mataku yang tak kunjung berhenti.
“Terimakasih Ibu, aku akan memberitahukan pada bang Bintang.lalu akan menyiapkan pakaian untuk kita di sana nanti”.
Keberangkatan yang benar-benar mendadak, syukurnya masih ada tiket cukup untuk kami semua. Walaupun tiket pesawat cukup mahal namun kami tak ambil pusing dengan hal itu. Uang masih bisa dicari, tapi ayahku tak ada yang bisa mencarikannya dengan sosok yang sama.
            Kami semua sudah siap untuk berangkat. Beberapa lembar pakaian masih tersusun acak-acakan di tas masing-masing seperti hati kami yang memikirkan Ayah.
***

Kota Medan adalah salah satu kota besar di Indonesia, dengan berjuta kesibukkan. Aku yang sejak lama ingin ke kota ini malam itu terwujud. Namun sesampainya di kota Medan tak ada kesenangan yang aku rasakan. Hanya Ayah yang menjadi tujuan utamaku.Kebetulan Ayah dirawat di rumah sakit kota Medan, kami pun langsung menuju rumah sakit itu. Kakiku bergegas tanpa menoleh kiri dan kananku. Mungkin saja jika ada truk yang datang dari kiri atau kananku tanpa sadar akan siap menabrak kapan saja. Dalam pikiranku hanya ada Ayah, Ayah dan Ayah.
Setelah beberapa tahun tak bertemu, hari itu aku harus bertemu Ayah di rumah sakit yang sedang terbaring menahan rasa sakit yang begitu menyayat hatiku.”Sabar Lan. Jangan terburu-buru seperti itu nak.” Tegur ibu yang langkahnya tertinggal jauh olehku. Aku yang terus saja berjalan tanpa menggubris teguran Ibu. “Di mana ruang Ayah, mengapa tak terlihat batang hidung ibu Cahya. Atau mereka terlalu sibuk menunggui detik-detik terakhir Ayah. Tidak! Tidak. Aku tak mau pertemuan terakhirku dengan Ayah di rumah sakit ini.” Pikiran-pikiran burukku tiba-tiba menghantui kembali tanpa kenal lelah dan letih. Akhirnya aku mendapati beberapa sepupuku di depan ruang tunggu dengan muka yang berantakan seperti rambutnya yang tak rapi lagi. Aku pun berlari-lari kecil mendekatinya.
“Di mana Ayah Bang? Aku ingin bertemu dengan dirinya. Mengapa kau berada di luar?” Tanyaku paksa.
”Aku tak sanggup berada di dalam menyaksikan napasnya yang terputus-terputus seakan tak lama lagi. Segeralah masuk Lan, dia menantimu sejak beberapa tahun lalu. Tapi sabar dulu karena ayahmu masih diperiksa dokter” Sambil menyeka air matanya yang mulai berjatuhan.
Aku masih memandangi Ayah dari balik kaca bening kamar ayahku dirawat. Ayahku yang dulu tegap kini terbungkuk dan tulang-tulangnya lebih menonjol daripada dagingnya. Aku meneteskan air mata satu persatu dan membanjiri pipi. Alat-alat bantu itu terlihat memaksa tubuhnya untuk tetap bisa bertahan hidup. Aku yang menatapnya dalam-dalam semakin tenggelam dalam sejuta kesedihan. Aku yang tak pernah bisa memberikannya sesuatu selama hidupnya. Aku yang belum pernah setetes pun memberikan kebahagiaan untuknya. Tapi malam ini aku melihatnya terbaring susah memperjuangkan hidupnya. Aku tak bisa bercerita tentang kuliahku padanya. Ia masih bertahan hidup semua tak lain karena cinta ALLAH dan bantuan alat-alat medis itu.
Kakiku terkulai lemah tak berdaya, ingin rasanya segera memeluk Ayah. Dokter  yang begitu lama dengan semua kerjanya membuatku tak sabar lagi. Namun tak lama kemudian Pak dokter pun keluar dan mempersilahkan kami masuk.
Mataku memandangi sekujur tubuhnya, tak sedikit air mata yang mengalir.
“Ayah, aku di sampingmu Yah. Ayah jangan tinggalkan aku. Aku masih ingin membahagiakanmu Yah. Aku mau berbagi cerita denganmu Yah. Maafkan aku selama ini yang selalu tak pernah ingin tahu tentang keadaanmu. Maafkan aku, maafkan.” Suaraku parau sedikit terisak-isak.
“Untuk apa Bulan minta maaf. Ayahlah yang bersalah. Selama menjadi ayah,Ayah tak pernah mampu membiayai hidup kalian. Seharusnya yang melakukan itu semua adalah Ayah bukan ibu kalian. Sampaikan maafku pada ibu kalian ya. Untuk Bulan,jangan menangis lagi. Ayah akan sembuh, Nak. Jangan cengeng begitu. Katanya mahasiswa masa cengeng. Bulan, harus menjadi wanita tangguh agar bisa menjaga ibumu, karena ketiga kakakmu sudah berkeluarga semua.tidak lupa juga, pesan Ayah untuk anak Ayah yang lain, Ayah titip Bulan dan ibu kalian. Jangan sia-siakan keluarga kalian. Hiduplah bertanggung jawab pada keluarga, jangan seperti Ayahmu ini.”
Uhuk,uhuk. Terdengar batuk keras dan membuat bibir  ayah berbalut darah, yang mungkin saja itu akibat dari penyakit Ayah.
“Ayah...” teriak kami dalam kamar rawat Ayah.
 Suara kami menajdi tanda tanya buat Ibu. Akhirnya Ibu merelakan untuk melihat Ayah.
”Ada apa dengan Ayah kalian?” tanya ibu.
“cepat panggil dokter,cepat” teriak Abangku, yang suara meluncur tiba-tiba. Dokter pun datang bersama dua perawat.
“Permisi-permisi, tolong minggir sedikit mbak. Saya mau memeriksa pak Syarif.” Mohon dokter dengan sangat.
 “Saya tak apa-apa Dok. Saya Cuma batuk sedikit, saya hanya ingin mengobrol dengan anak-anak saya saja Dok.”
“Rina mantan isteriku. Aku minta maaf padamu karena selama ini aku bukanlah suami yang bertanggung jawab padamu maupun pada anak-anak kita. Terima kasih atas semuanya dan bimbinglah anak kita selalu.
”Aku memang sejak puluhan tahun tak bisa memafkanmu karena kesalahanmu yang meninggalkan luka padaku dan sampai saat ini masih terasa pedih luka itu, namun sudah beberapa bulan lalu aku sadar bahwa itu semua tak ada gunanya.” Jawab ibu dengan mata berkaca-kaca.
“Anak-anakku bantu Ayah pulang bersama  cinta kalian, cinta Rasulullah dan cinta-Nya pinta Ayah pada kami.”Apa yang Ayah katakan,jangan tinggalkan Bulan, Yah.” Aku memeluk erat tubuh kurus Ayah. Seketika itu aku merasakan getaran suara dari balik dadanya” LaaIlaahaillallah. Muhammadarrasulullah.”
” Ayaaaaah....”
***

Aku tersadar dalam suasana kelas yang begitu lengang dan sunyi. Semua mata tertuju padaku.Jeritanku membuyarkan konsentrasi teman-teman yang sedang mengikuti perkuliahan. “Astagfirullah. Aku membayangkan hal buruk lagi tentang Ayah” semua mata tertuju padaku, mereka memandangiku dengan mata yang berisi seribu kebingungan.”Bulan, cepat basuh mukamu di kamar mandi” perintah dosenku dengan sangat lembut. Mungkin dia tahu apa yang telah aku bayangkan tadi.
Aku berharap itu semua hanya bayangan burukku saja dan tak akan terjadi. Aku tak ingin satu tahun yang lalu menjadi hari terakhir aku mendengar suaranya. Aku tak ingin empat tahun yang lalu menjadi hari terakhir aku menatap wajahnya. “Ya ALLAH jaga selalu Ayahku. Aku, Ibu, Kakak, kami semua mencintai Ayah. Berikan ia kesehatan. Amin.”
***

Tidak ada komentar:

Posting Komentar